Sebagai salah satu pejuang nafkah keluarga yang hidup di rantau, hal yang selalu saya sempatkan ketika pulang dari rantau adalah mengajak keluarga berkeliling menyusuri jalanan sambil mengamati perkembangan wisata kuliner di kota kelahiran. Dalam penyusuran kali ini saya sempat terkesima dengan beberapa bangunan waralaba yang sedang bersolek dengan warna merah mencolok berlogo boneka salju. Pemandangan tersebut acapkali terlihat di bekas bangunan kosong yang dulunya terbengkalai.
Rasa penasaran membuat saya segera membuka gawai dan mencari informasi lebih lanjut tentang bangunan yang identik dengan warna merah dengan logo boneka salju. Mungkin para pembaca banyak yang sudah tahu apa nama bangunan merah tersebut. Bangunan merah dengan logo boneka salju adalah waralaba milik Mixue yang sempat menjadi topic tren di beberapa jagad media sosial. Sedemikian rupanya sampai ada bahan candaan di kalangan anak muda, “Bahkan hati kosong mungkin bisa disewa buat jadi gerai selanjutnya.”
Perjalanan Mixue
Mixue bukanlah waralaba asli Indonesia melainkan didirikan oleh Zhang Hongchao dari China. Dia menggeluti usaha ini mulai dari nol dan penuh kerja keras sejak 1997 dengan modal yang terbatas hingga akhirnya dapat melebarkan gurita usaha. Zhang membentuk perusahaan Mixue Bingcheng untuk mengurusi operasi dan manajemen, Henan Daka Food mengurusi riset dan produksi, dan Shangdao Intelligent Supply mengurusi logistik dan pergudangan.
Ketiga perusahaan inilah yang membuat harga Mixue sangat kompetitif. Mereka berhasil menekan biaya produksi dengan membangun rantai pasokan hingga mengelola sendiri proses produksi bahan baku, pergudangan, dan logistik. Dengan cara ini Mixue dapat memotong biaya perantara pihak ketiga, menjaga biaya logistik sangat rendah, dan menjadikan Mixue menjadi lima waralaba tersukses di dunia.
Mixue juga tidak butuh biaya besar untuk melakukan promosi. Manajemen sadar bahwa biaya toko juga menjadi salah satu faktor yang dapat menggerus profitabilitas Mixue sehingga pendekatan yang diambil berbeda dengan kompetitornya yang membuka gerai di pusat perbelanjaan atau mal. Mixue justru mengambil pendekatan sewa ke toko-toko di kota kecil dengan biaya sewa, tenaga kerja, dan biaya operasional yang cenderung lebih rendah.
Dengan berbagai pendekatan agresif yang dilakukan oleh Mixue inilah yang membuat banyaknya bangunan terbengkalai yang disewa untuk disulap menjadi cabang ataupun waralaba Mixue. Lambat laun para warganet menyematkan Mixue sbagai penyelamat ataupun malaikat bagi bangunan kosong.
Aspek Perpajakan Mixue
Di Indonesia pemegang waralaba pertama Mixue adalah PT Zisheng Pacific Trading sehingga untuk segala bentuk kegiatan operasional baik membuka cabang ataupun membuka peluang kemitraan dengan cara membeli waralaba menjadi tanggung jawab PT Zisheng Pacific Trading. Ini termasuk pula dengan aspek perpajakannya yang terdapat dalam tiap-tiap alur proses bisnis sesuai dengan kaidah atau aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia.
Karena induk perusahan Mixue berada di China yang berarti wajib pajak luar negeri dan PT Zisheng Pacific Trading adalah pemegang waralaba di Indonesia yang menjadi wajib pajak dalam negeri, maka membuka kemungkinan adanya aliran dana royalti ke luar negeri.
Royalti atau pembayaran atas penggunaan aset tak berwujud (intangible asset) dan hak kekayaan intelektual termasuk dalam Barang Kena Pajak (BKP) sehingga dikenakan PPN. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf D Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan klaster Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bahwa PPN dikenakan atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Hal ini berlaku juga terhadap pelaku usaha yang ingin membeli waralaba F&B Mixue.
Lebih lanjut dalam pasal 4a ayat (2) UU tersebut dijelaskan, jenis barang yang tidak dikenai PPN yakni barang tertentu dalam kelompok makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan demikian atas penjualan minuman Mixue, karena disajikan di kedai yang diatur retribusinya oleh pemerintah daerah, maka tidak dikenakan PPN.
Mengacu pada UU Pajak Penghasilan (PPh), setiap jasa –termasuk di dalamnya royalti yang diterima—termasuk ke dalam objek PPh Pasal 23/26. Sedangkan dalam pasal 26 ayat (1) UU HPP klaster PPh menegaskan, penghasilan berupa royalti yang diterima oleh subjek pajak luar negeri dari wajib pajak dalam negeri akan dikenakan PPh Pasal 26 sebesar dua puluh persen dari jumlah bruto atau disesuaikan dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Dalam hal terdapat pengaturan khusus dalam P3B, pemotong dan/atau pemungut pajak dalam hal ini wajib pajak dalam negeri melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menyampaikan Surat Keterangan Domisili WPLN yang berisi informasi mengenai telah terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018.
Lebih lanjut, terkait penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, dan kegiatan dikenakan PPh Pasal 21 dengan tarif sesuai pasal 17 UU PPh, sedangkan ekspansi yang dilakukan oleh pemegang waralaba dengan membuka cabang akan dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) jika pemegang waralaba menyewa bangunan untuk lokasi usaha, sebesar sepuluh persen dari jumlah bruto nilai sewa.
Dengan adanya pemahaman yang baik antara prospektus F&B Mixue serta aspek perpajakannya di Indonesia, maka diharapkan selain menambah keuntungan bagi pelaku usaha juga akan meningkatkan penerimaan pajak ke negara.