Asas Pengenaan Pajak dan Praktik di Indonesia
PAJAK merupakan sumber utama penerimaan negara, yang dibayarkan oleh masyarakat yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Indonesia bukan perkecualian. Saat ini ada empat jenis pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), serta pajak-pajak lain yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Ada sejumlah pertimbangan bagi setiap pemerintahan untuk memungut pajak dari rakyat negaranya. Pengenaan pajak yang dilakukan secara asal bisa menjadi masalah, bukannya instrumen fiskal yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Di antara pertimbangan dalam praktik pemajakan tersebut adalah kesesuaian asas pengenaan pajak dan asas pemungutan pajak.
Ragam asas pengenaan pajak
Pengenaan pajak harus memperhatikan objek berupa penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomi, juga subjek pajak yang adalah orang pribadi atau badan yang ditetapkan sebagai wajib pajak.
Penentuan subjek dan objek pajak harus berdasarkan pada asas pengenaan pajak. Di ranah internasional ada tiga asas pengenaan pajak, yaitu asas pajak world wide income, asas pajak teritorial, dan asas pajak kebangsaan.
1. Asas world wide income
Sistem world wide income dikenal juga dengan asas pajak domisili atau residence principle. Dalam sistem ini pengenaan pajak hanya akan memperhatikan lokasi atau tempat wajib pajak berada dan mengesampingkan asal penghasilan. Selama diterima oleh orang pribadi yang berdomisili di negara tersebut atau badan yang berkedudukan di negara itu, penghasilan akan dikenai pajak. Meski demikian, negara yang menerapkan asas domisili atau world wide income sebetulnya pada saat bersamaan juga menerapkan asas teritorial, terutama untuk penghasilan wajib pajak luar negeri yang berasal dari negara tersebut.
2. Asas teritorial
Negara yang menggunakan asas teritorial untuk perpajakannya akan mengenakan pajak terhadap penghasilan yang diterima dari negara itu, siapa pun wajib pajaknya. Asas ini sering disebut juga sebagai asas sumber atau source principle. Menggunakan asas teritorial, negara tidak mempersoalkan siapa penerima penghasilan, wajib pajak dalam negeri ataupun wajib pajak luar negeri. Selama berasal dari negara itu, penghasilan itu akan dikenai pajak di negara tersebut. Penerapan asas ini berisiko mendorong investor untuk lebih memilih berinvestasi ke luar negeri.
3. Asas kebangsaan
Asas pengenaan pajak kebangsaan disebut juga dengan asas pajak nasionalitas atau kewarganegaraan. Dalam asas ini, pengenaan pajak hanya dilakukan berdasarkan status kewarganegaraan. Negara tidak akan mempersoalkan asal penghasilan yang diterima wajib pajak. Selama orang pribadi atau badan berstatus atau berkedudukan di negara tersebut maka penghasilannya dikenai pajak.\
Asas pengenaan pajak hibrid
Keberadaan asas pajak world wide income dan asas teritorial sekilas bak dua kutub yang berseberangan. Namun, sejatinya tak ada satu pun negara di dunia ini yang mengadopsinya secara mutlak.
Para pakar seperti J Clifton Fleming, Robert J Peroni, dan Stephen E Shay pun menyatakan, negara yang menyatakan menerapkan sistem pajak teritorial ataupun pajak world wide income tidak serta-merta dapat diartikan bahwa negara itu mengadopsi penuh asas itu. Umumnya, negara-negara di dunia mengombinasikan kedua asas tersebut. Isitilah yang kemudian digunakan adalah pajak hibrid world wide income atau asas pajak hibrid teritorial.
Asas pengenaan pajak Indonesia
Sebagaimana dikutip dari laman pajak.go.id, Pemerintah Indonesia pada dasarnya menganut asas pengenaan pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan dari luar negeri. Untuk wajib pajak dalam negeri, pengenaan pajak didasarkan atas asas domisili.
Dari mana pun sumber penghasilannya berasal, termasuk dari luar negeri, wajib pajak Indonesia akan dikenai pajak. Adapun bagi warga negara asing yang tinggal dan memperoleh penghasilan di Indonesia, pengenaan pajak dilakukan dengan didahului pengecekan batas waktu keberadaannya di Indonesia.
Warga negara asing akan dikategorikan sebagai wajib pajak dalam negeri bila tinggal di Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam 12 bulan. Sebaliknya mereka akan menjadi wajib pajak luar negeri bila tinggal di Indonesia hanya selama maksimal 183 hari dalam 12 bulan. Bagi warga negara asing yang masuk kategori wajib pajak luar negeri, pajak dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja. Lalu, sebagaimana lazimnya praktik perpajakan di berbagai negara, diatur perjanjian perpajakan antar negara untuk menghindari pemajakan berganda.
Namun, seturut berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang antara lain merevisi ketentuan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), Indonesia bisa dibilang telah mengubah sistem pengenaan pajak dari sistem world wide income ke sistem pajak teritorial, terutama bagi wajib pajak Indonesia yang punya penghasilan dari luar negeri.
ebelum terbitnya beleid omnibus law tersebut, UU PPh menetapkan bahwa semua penghasilan wajib pajak Indonesia dari luar negeri merupakan objek pajak. Sejak berlakunya UU Cipta Kerja, dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dikecualikan dari objek PPh atau tidak dikenai pajak di Indonesia. Meskipun, ada syaratnya juga. Syaratnya, laba setelah pajak dari deviden penghasilan tersebut diinvestasikan di Indonesia setidaknya sebesar 30 persen. Harapannya, ada lebih banyak aliran modal masuk ke dalam negeri dari deviden yang diperoleh wajib pajak Indonesia dari luar negeri.
Naskah :
MUC/ASP, KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI